Menanti Sang Hati

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Malam hari kutatap langit

Sangat indah rupa sang bulan

Entah mengapa aku teringat

sesosok gadis menawan hati

Mengingat saat-saat

Ku terharu kau menangis

Menonton opera

Merenyuh hati

Saat yang indah bersatunya

Dua sifat saling berbeda

Bertemu dalam keharmonisan

Bagai bunga ditengah taman

Seperi itik merindu induk

Bagaikan domba kehilangan bulu

Aku merasa ada yang hilang

Di malam nan dingin sunyi

dalam hati akumerenung

Menanti saat yang indah

Sang dara kembali pulang

Kedalam pangkuan sang pawang

                                                                             By: Bodhi Cahyana

Bagaimana Sang Buddha Wafat?

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain ? Inilah jawabannya. 
BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?
Oleh : Dr. Bhikkhu Mettanando*

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain ? Inilah jawabannya. 

Mahaparinibbana Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha. Mahaparinibbana Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat. 

Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya. 

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diriNya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundangNya untuk melakukan hal itu ( D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatanNya ( D II, 105), dan Yang kemangkatanNya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138). 

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit ( D II, 120), Yang hampir kehilangan hidupNya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassaNya (retreat musim hujan)yang terakhir di Vesali( D II, 100), dan Yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatanNya yang tak didugaNya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamuNya yang dermawan. 

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha : Yang pertama, kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiringNya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117). Yang kedua adalah bahwa Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai “Sukaramaddava” (D II, 127-157). 

Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhist selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha. 

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhirNya sebagai penyebab kemangkatanNya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda-tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern. 

Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajalNya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhirNya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat. 

Apa yang kita ketahui 

Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai “daging babi lunak”, yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini. 

Dalam Sutta sendiri selain menyediakan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis. 

Sutta di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk memulai vassa (retreat musim hujan) terakhirNya. Dalam masa vassa ini Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakiNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat. 

Walau demikian, di dalam Sutta tidak diuraikan tentang ciri-ciri dan letak penyakitNya. Sutta itu hanya menyinggung sekilas penyakit Beliau, dan dikatakan penyakitnya sangat keras, dan hampir membunuhNya. 

Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiringNya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikanNya mengenai kemangkatan Beliau. Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuatNya mangkat. 

Waktu Kejadian 

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Visakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari. 

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bunga pada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta. 

Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhirNya. 

Diagnosa 

Sutta menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap Sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat. 

Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan ia menyarankan penjamuNya untuk menguburkan makanan tersebut. Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektumNya. 

Masuk akal untuk kita asumsikan bahwa penyakit itu dimulai ketika Sang Buddha sedang menikmati makananNya, sehingga membuatNya berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan makanan yang tidak familiar itu. Karena kasih sayangNya kepada orang lain, maka Beliau sarankan agar makanan itu dikubur. 

Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut , tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertai dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan. 

Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi bahan kimia beracun menjadi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satupun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks. 

Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Kendati faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum. 

Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80nya. Dengan usiaNya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jamanNya. 

Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya. Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan). Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan, karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satupun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta. 

Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamuNya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan. 

Mesenteric infarction 

Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekita usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesentery. Hal ini sangat mematikan. Ischaemia Mesenteric akut (berkurangnya suplai darah ke mesentery)adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi. 

Mesentery adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir. 

Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta. Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untukNya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus. 

Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga. 

Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya ? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita shock yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirNya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu. 

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu. 

Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara). 

Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiranNya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana. 

Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadakNya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamuNya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diriNya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidupNya. 

Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatanNya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatanNya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuhNya. 

Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadakNya. 

Tahapan perkembangan penyakit 

Mesenteric infarction adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenteric, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut). 

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darah nya , yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah. 

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal. 

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi septic shock karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah. 

Analisa Retrospektif (kebelakang) 

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita mesenteric infarction yang disebabkan oleh penyumbatan pada superior mesenteric artery. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhirNya. 

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosclerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut). 

Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa ada yang sesuatu yang tidak beres. Mempertanyakan akan makanan itu, Beliau lalu meminta tuan rumah untuk menguburkan makanan itu sehingga yang lain tidak akan menderita karenanya. 

Segera, Sang Buddha menyadari bahwa penyakit itu serius, dengan adanya mencret darah yang disertai rasa sakit yang hebat pada bagian perut. Karena kehilangan banyak darah, Beliau mengalami shock. Tingkat dehidrasi atau kehilangan cairan darah sudah sedemikian parah sehingga Beliau tidak sanggup lagi mempertahankan diri dan harus berteduh di sebuah pohon di sekitar situ. 

Merasa sangat haus dan kelelahan, Beliau meminta Ananda untuk pergi mengambilkan air untuk diminumNya, walaupun Beliau mengetahui bahwa airnya keruh. Di sanalah Beliau pingsan sehingga rombongan pengiring Nya membawa Beliau ke kota terdekat, Kusinara, dimana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diriNya. 

Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuhNya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakitNya yang tiba-tiba ituadalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakitNya, dan Cunda jangan di salahkan. 

Pasien yang mengalami shock, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiringNya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin monastic Buddhist (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain atau seprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha utnuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin. 

Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darahNya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan shock dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan. 

Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat. 

Secara normal,pasien yang menderita mesenteric infarction dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiringNya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahatNya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa hausNya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diriNya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta. 

Beliau mungkin silih berganti pulih dari kndisi kelelahan sehingga memungkinkan diriNya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya, di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat septic shock kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja. 

Kesimpulan 

Hipotesisa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya. 

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatanNya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan makanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaanNya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan mesenteric infarction kedua yang mengakhiri hidupNya. 

*)
Dr. Bhikkhu Mettanando adalah Bhikkhu Thailand yang telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan S1 untuk sains dan gelar dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelas Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Beliau juga mendapat gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional. 

Judul asli: How Buddha Died 
Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando 
Diterjemahkan dan online di : Bhagavant.com

Quoted from wihara.com with necessary changes.

Agama Buddha dan Suku Dayak

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Apakah suku Dayak ada yang menganut agama Buddha? Jawabnya adalah ya! Ada orang-orang dalam suku Dayak menganut ajaran Buddha. Salah satu suku pribumi Kalimantan Barat khususnya Dayak Bukit/Kandayan telah mengenal Buddhisme. Berawal dari perkenalan dengan tokoh-tokoh Buddhis Kalimanan Barat di Pontianak yakni Bapak Cipta Wijaya Salim (almarhum), Aliong, A-Buai/lbu Ratna dan Lilianti. Dari beliau-beliau inilah sekitar 2000 jiwa masyarakat Dayak secara serempak menyatakan diri sebagai penganut Agama Buddha dan menyatakan berlindung pada Sang Triratna, peristiwa ini terjadi pada tahun 1991 di Desa Senakin.    

   

Melihat perkembangan yang begitu pesat tokoh masyarakat Dayak yang telah menyatakan berlindung pada Triratna beserta tokoh-tokoh dari Pontianak menyatakan cita-citanya untuk mempunyai tempat ibadah, sehingga dapat melaksanakan ritual-ritual Buddhis bersama seperti agama-agama lainnya. Namun, saat itu kesulitan mendapatkan tempat/lahan untuk membangun sebuah vihara disertai kurangnya dana, maka cita-cita tersebut belum dapat direalisasi. Pada tahun 1992, seorang umat Buddha merelakan rumah yang dimilikinya untuk ditempati sementara dan dialihfungsikan sebagai vihara sementara. Dengan adanya vihara di Pontianak, pada saat itu semakin meningkatkan laju perkembangan Buddha Dhamma di Pedalaman Kalimantan Barat. Pembinaan pun dirasakan sangat baik, pada saat itu ditambah lagi dengan datang tokoh Buddhis dari Jakarta yakni Romo Purna Candra dan Romo Karuna Atmaja. Cita-cita yang tadinya pernah padam hidup kembali, namun cita-cita tersebut kembali buyar oleh karena sulitnya mendapatkan lahan yang tepat untuk pembangunan Vihara.

Pada tahun 1994, pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah mendapatkan lahan seluas 300 m2 yang berasal dari hak hibah. Pada tahun 1994 diadakan Visudhi Upasaka/Upasika oleh tiga orang Romo, yakni Romo Karuna Atmaja (alm), Romo Purna Candra (alm) dan Romo Sasana dari Jakarta yang mevisudhi Upasaka/Upasika sebanyak 200 orang, dilaksanakan sesuai tradisi Tantra (Kasogatan). Dengan berakhirnya upacara Visudhi, mulai saat inilah pembinaan dirasakan semakin kurang dan umat disana harus berdiri di kakinya sendiri. Dengan pemahaman yang masih dangkal, yang hanya diperoleh melalui diklat-diklat selama semingggu di Kotamadya Pontianak akhirnya perkembangan Buddhisme menjadi terseok-seok. Sehingga pada tahun 1996-2002 Umat Buddha di pedalaman Kalimantan Barat, setengah dari jumlah yang ada pada saat itu berpindah ke agama lain, karena mereka memiliki pemahaman yang kabur tentang agama Buddha dan juga dikarenakan teror-teror yang dilakukan oleh oknum-oknum umat agama lain yang tidak bertanggung jawab.

Ajaran-ajaran Buddha dapat diterima ditengah masyarakat Dayak, karena kedekatan ajarannya dengan budaya Dayak, yaitu kesamaan dalam tradisi untuk tidak menghilangkan kehidupan makhluk sekecil apapun yang dikenal dengan nama “Balala”. Balala dilakukan saat musim membuka ladang akan tiba. Dalam kepercayaan adat Dayak juga dikenal adanya alam-alam lain diluar alam manusia dan kepercayaan adanya kelahiran kembali setelah kematian. lstilah Tuhan dalam kepercayaan Dayak dikenal dengan nama Pamma Jubatta. Jubatta tidak menciptakan manusia. Jubatta hadir hanya mengatur dan menguasai seluruh alam dan merupakan sosok yang sempurna. Namun tidak dapat dikatakan sebagai penyebab terjadi segala sesuatu yang terjadi di dunia. Manusia dalam kepercayaan Dayak diciptakan oleh makhluk diluar dunia yang ada saat ini. Terbentuknya manusia berada di suatu tempat yaitu Panara Subayatn (Surga) yang di lakukan oleh DA’NEK NANGE. Apabila mencermati kata DA’NEK NANGE, NEK NANGE bukanlah merupakan suatu pribadi, tetapi suatu kumpulan makhluk-makhluk yang bekerja sama dalam pembentukan manusia. Jadi penciptaan manusia bukanlah oleh suatu pribadi, tetapi lebih dekat dengan hukum-hukum alam yang digambarkan melalui orang-orang atau makhluk-makhluk Adi Kodrati. Disinilah titik ketertarikan orang-orang suku Dayak untuk memeluk agama Buddha.

Quoted from kalimantanforchrist.blogspot.com with necessary changes.

Cara Bersarana Pada Living Buddha Lian Sheng

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

To take refuge in Living Buddha Lian-sheng and become a student of the True Buddha School, there are three courses:(i) In person – Make an appointment ahead of time to visit the True Buddha Tantric Quarter in Redmond, Washington, USA to receive direct Initiation Empowerment from the Living Buddha Lian-shen.

(ii) By writing – It is often not possible for someone who lives far away to come in person to take refuge. Those students who desire to take refuge can, on the first or fifteenth of any lunar month, at 7:00 a.m., while facing the direction of the rising sun, recite three times the Fourfold Refuge Mantra: “Namo Guru bei, namo Buddha ye, namo Dharma ye, namo Sangha ye” and prostrate three times.

On the first or fifteenth of every lunar month, at the True Buddha Tantric Quarter, Living Buddha Lian-shen performs a ceremony of “Remote Initiation Empowerment” – to give empowerment to all the students who could not journey in person.

A student who takes refuge from a distance, after performing the rites at home, only needs to send a letter to the True Buddha Tantric Quarter stating that he or she is seeking refuge, together with his/her name, address, age, and a small fee for making offerings to the Buddhas. Upon receiving the letter, Living Buddha Lian-shen will send a certificate, a picture of the Guru, and a note stating the level of practice at he/she should start. The address of the True Buddha Tantric Quarter is:

Sheng-yen Lu
17102 NE 40th Ct.
Redmond, WA 98052, USA

(iii) Through Local chapters of the True Buddha School. Come to the nearest Vihara of True Buddha School and get a refuge when Vajra Acarya comes to the Vihara.

For the addres of TBS Vihara, please visit Vihara address

Quoted from purplelotus.org

Sejarah Agama Buddha Di Indonesia

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit. 
Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.

Sekitar tahun 423 M Bhiksu Gunawarman datang ke negri Cho-Po (jawa) untuk menyebarluaskan ajaran Buddha. Ternyata ia memperoleh perlindungan dari penguasa setempat, sehingga misinya menyebar luaskan ajaran Buddha berjalan lancar. semua ini tercatat di dalambuku Gunawarman dan jika di dasarkan pada buku ini maka kemungkinan besar ia adalah seorang perintid pengembangan agama Buddha di Indonesia pada zaman tersebut.

Berdasarkan catatan dari kerajaan Tang di Tiongkok, pada pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan yang menganut agama Buddha namanya Kaling. Di Tiongkok nama itu lebih dikenal dengan sebutan Ho Ling. Kerajaan ini sangatalah tertib dan tentram walaupun dipimpin oleh seorang wanita tangan besi yang bernama ratu Sima. Ho ling saat itu menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Buddha, dan tidak sedikit orang Tionghoa dari dataran Cina datang ke negri tersebut untuk belajar agama Buddha, walaupun pada zaman dinasti Tang agama Buddha telah menjadi agama resmi di negri Cina..

Dalam abad ke-7 dan ke-8 antara India dan Cina terjalin hubungan yang ramai. Hungan tersebut tidak semata-mata di Bidang perdagangan, melainkan juga dalam ilmu pengetahuna dan agama Buddha. Antara tahun 618 hingga 907 Cina diperintah oleh Dinasti Tang, sedang di India dalam abad ke-7 berkuasa raja Harcha yang bersikap toleran terhadap agama Buddha. Maka pada zaman itu banyak musafir dan Bhiksu dari Cina yang berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. 

Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, urat nadi lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh dikatakan pusat perdagangan dan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah agama Buddha aliran Mahayana dengan memahami bahasa Sansekerta.

Antara tahun 850 hingga awal abad-13, kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keluarga Syailendra yang pernah berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di Mataram, keluarga Syailendra banyak mendirikan bangunan suci Buddhist berupa candi seperti Candi Kalasan, Plaosan, Sari, Borobudur, Pawon dan Mendut. Sriwijaya kemudian meluaskan kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut Suratani dan Pattani. Candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya di sana antara lain Vihara Mahadhata di Jaiya dan Vihara Mahadhata di Nakorn Sitnamart yang sampai sekarang masih ada dan bentuk bangunan, arca-arca Buddha serta Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa.

Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari Tibet yang membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatra dan tinggal di sana dari tahun 1011 – 1023. Ia belajar di bawah bimbingan Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi Attisa yang di tulis di Tibet, Sumatra adalah pusat utama agama Buddha, sedang Bhiksu Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.

Kedatangan para dharmaduta ke Indonesia mendorong banyak orang pergi berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat agama Buddha seperti Universitas Nalanda dan lain-lain. Setelah kembali ke Indonesia mereka mendirikan candi-candi dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan Sumatra adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh Bhiksu Gunawarman. Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan berdirinya candi Kalasan yang dipersemabahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. . Dari catatan epigraphic diketahui bahwa salah satu dari raja Syailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong berkembangnya agama Buddha Mahayana.

Kehidupan agama Buddha pada masa kerajaan Mataram – I bisa dilihat dari prasasti Conggol, sebelah Barat-daya Magelang, yang dikeluarkan oleh Raja Sanjaya. Pasasti tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 654 Saka (732 M) hari senin tanggal 13 terang bulan Kartika, Raja Sanjaya mendirikan sebuah lingga yang merupakan lambang dari dewa Siwa yang dipuja oleh raja dan rakyatnya. Sanjaya sendiri putera Saimaha, saudara perempuan Raja Sanna yang memerintah sebelum Sanjaya.

Pada masa pemerintahan Raja Panangkaran tahun 775, dinasti Syailendra mulai berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan sehingga kekuasaan dinasti Sanjaya terdesak ke utara Jawa Tengah, yakni sekitar dataran tinggi Dieng. Di sana Sanjaya mendirikan beberapa candi, antara laincandi Bimo, Arjuno, Semar dan Argopuro.

Raja-raja yang berkuasa pada zaman dinasti Syailendra ialah Bhanu (752-775), Wisnu (775-782), Indra (782-812), Samarottungga (812-833) dan Balaputradewa (833-856). Prasasti-prasasti Syailendra ialah prasasti Kalasan pada tahun 778, dengan menggunakan huruf pranagari dan bahasa Sansekerta; prasasti Kelurak dekat Yogya tahun 782, juga memakai huruf pra-nagari dan bahasa Sansekerta; prasasti Karang Tengah dekat Temanggung pada tahun 824 dengan memakai bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno dan prasasti Kahulunan, Kedu, pada tahun 842 yang ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno.

Selama pemerintahan Syailendra, banyak bangunan candi yang didirikan sebagaimana telah disinggung di atas. Satu diantara candi-candi yang tersohor adalah Borobudur yang didirikan pada masa Raja Samarottungga. Candi Sajiwan dan Plaosan dibangun pada masa pemerintahan suami-isteri Rakai Pikatan-Pramodawardhani (puteri Samarottungga). Nampaknya pengaruh Pramodawardhani sangat besar, sehingga yang dibangun adalah candi bercorak Buddha. Raja Rakai Pikatan sendiri beragama Siwa (Hindu). Jelas pada masa itu terdapat rasa toleransi agama yang besar.

Perkawinan Rakai Pikatan yang beragama Siwa dan Pramodawardhani yang beragama Buddha bersifat politis untuk menghadapi Balaputra yang sedang berkuasa, selain untuk mencapai kerukunan antara dua dinasti yang sedang bersaing dan bahkan saling bertentangan. Balaputra dan saudaranya, Pramodawardhani bersaing untuk menduduki jabatan Raja Mataram setelah ayah mereka, Samarottungga meninggal dunia. Balaputra berhasil naik tahta antara tahun 833 – 856, tetapi akhirnya benteng pertahanan Balaputra dirobohkan juga oleh persekutuan Rakai Pikatan Pramodawardhani, dengan demikian maka hanculah benteng terakhir dinasti Syailendra di Jawa Tengah sebelah Selatan desa Prambanan.

Sejak pemerintahan Rakai Pikatan, dan kemudian disusul oleh Rakai Kayuwangi (856-886), Rakai Watukumalang (886-898), Balitung (898-910), Daksa, Tulodong dan Wawa, pemerintahan dinasti Sanjaya semakin berkembang. Pada masa Raja Wawa, pusat kekuasaan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur, sehingga peranan Jawa Timur selama dua abad kemudian berhasil menggantikan kedudukan Jawa Tengah.

Ada dua pendapat tentang apa sebabnya pusat pemerintahan kerajaan Mataram dipindahkan yang ditandai juga dengan perpindahan massal rakyat ke Jawa Timur. Pertama,mereka yang berpendapat perpindahan itu akibat meletusnya gunung Merapi yang banyak menimbulkan bencana dan korban. Menurut kepercayaan rakyat, meletusnya gunung Merapi menunjukkan kemarahan para dewa. Pendapat ke-dua, karena tarikan faktor ekonomi di Jawa Timur yang semakin besar, di mana perdagangan dan pelayaran laut dan sungai kian rarnai.

Babak pertama pemerintahan Mataram di Jawa Timur dipegang oleh dinasti Isana, nama yang diambil dari nama Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadjarmotunggadewa, gelar Mpu Sendok. Bagaimana Mpu Sendok naik tahta kurang dutetahui. Namun diduga melalui perkawinannya de putri Wawa. Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, ternyata Mpu Sendok banyak menaruh perhatian pada perdagangan dan pelayaran di kali Brantas selain pertanian. Mpu Sendok juga dikenal Raja yang memerintah dengan lebih demokratis dan menaruh minat pada soal-soal hukum serta kesusastraan· Pada masa pemerintahan Mpu Sendok-lah di

Mpu Sendok sendiri penganut agama Hindu, sehingga timbul kesan adanya toleransi agama yang sangat kuat di masa itu. Nampaknya antara agama Hindu yang dianut di Kutai, Taruma dan Mataram pada satu pihak dan agama Buddha yang dianut Sriwijaya dan Mataram (masa dinasti Syailendra) di lain pihak pernah terjadi persaingan dan perbenturan. Narnun kemudian terjadi toleransi yang diawali oleh perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Hal mana dilanjutkan pada masa pemerintahan Isana dan kemudian terjadi “pembauran” antara Hindu dan Buddha sehingga batas kedua agama itu semakin kabur pada masa Singosari dan Majapahit. Pembauran kedua agama ini masih dapat disaksikan di Jawa dan Bali.

Diantara raja-raja keturunan Mpu Sendok, yang paling berhasil adalah Airlangga. la adalah seorang raja yang ditaati oleh rakyatnya yang rela menyerahkan segala milik mereka demi kepentingan pemerintahaan Airlangga. Airlangga berhasil membawa kerajaan Mataram pada puncaknya; tapi Airlangga pula yang meruntuhkan kerajaan itu.

Runtuhnya kerajaan Mataram sudah berada di ambang pintu tatkala Sanggramatunggadewi, orang kedua yang pantas menduduki tahta sesudah Airlangga, menolak jabatan besar tersebut. la lebih suka memilih hidup suci sebagai petapa di Pucangan, gunung Penanggungan, dengan nama Kili Suci. Maka, Airlangga terpaksa minta bantuan Mpu Bharada yang sakti untuk membagi kerajaannya kepada kedua putranya, Jenggala (Singasari) di bagian Timur dan Kediri di bagian Barat pada tahun 1041. Airlangga sendiri menjadi petapa pada tahun 1042 dengan nama Resi Gentayu sampai wafat pada tahun 1049 dan dimakarnkan di Tirtha, tempat permandian Jalatunda dekat desa Belahan di sebelah Timur gunung Penanggungan.

Airlangga sebagai penjelmaan Wishnu diwujudkan dalam bentuk Wishnu sedang naik seekor burung Garuda.

Kerajaan Majapahit adalah Negara Kesatuan Indonesia kedua setelah Sriwijaya yang dibangun oleh umat Buddha dan Hindu. Umat Buddha dan Hindu dalam zaman keprabuan Majapahit, berhasil mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman keemasannya. Kejayaan keprabuan Majapahit dapat terwujud antara lain disebabkan karena adanya kerukunan intern umat Buddha dan kerukunan intern umat Hindu serta adanya kerukunan hidup antara umat Buddha dan umat Hindu pada zaman itu. Maharaja Hayam Wuruk dalam menjalankan pemerintahannya didampingi oleh penasehat agung dalam keagamaan yakni Dharmadhyaksa Ring Kasongatan dan golongan Buddha dan Dharmadhyaksa Ring Kasewan dari golongan Hindu. Kerukunan hidup umat beragama pada zaman Majapahit dirintis dan dipelopori oleh Pujangga Buddhis yang agung, Mpu Tantular. Dalam bait syair yang ada di dalam buku yang ditulisnya yakni kitab “SUTASOMA” pujangga besar Mpu Tantular menulis: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti yang dapat mempersatukan umat beragama dan rakyat Majapahit pada waktu itu, yakni Bhinneka Tunggal lka, sekarang merupakan kalimat sakti pemersatu bangsa Indonesia dan ditulis dalam lambang negara Garuda Pancasila.

Setelah keprabuan Majapahit mengalami zaman keemasan, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya Gajah Mada yang beragama Buddha, akhirnya mengalami keruntuhan karena kerukunan hidup umat beragama serta persatuan kesatuan rakyat”. Majapahit tidak dapat lagi dipertahankan. Terjadinya perpecahan dan pertentangan yang tidak henti-hentinya akhirnya membawa Majapahit sirna dari muka bumi ini. Bersama dengan itu agama Buddha juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya, kemusnahannya semakin nyata dalam zaman penjajahan Belanda. Narnun demildan, dalam zaman penjajahan Belanda pula agama Buddha mulai dipelajari dan dihayati oleh generasi muda yang terhimpun dalam Perhimpunan Theosofi Indonesia dan Sam Kauw.

Agama Buddha Dalam Zaman Penjajahan

Pada zaman penjajahan Belanda, di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama yakni agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam sedangkan agama Buddha tidak disebut-sebut. Hal ini adalah salah satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian agama Buddha dapat dikatakan sudah sima di bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam hati nurani bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Theosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Theosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari agama Buddha, di mana seluruh anggota Thesofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi agama Buddha yang diberikan di Loji Theosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

Dalam zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Khong Hucu dan Lautse dan usaha mana kemudian lahir Organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari sini pula kemudian lahir penganut agama Buddha, yang dalam zaman kemerdekaan agama Buddha bangkit dan berkembang. 

Dalam tahun 1932 di Jakarta telah berdiri International Buddhist Mission Bagian Jawa dengan Yosias van Dienst sebagai Deputy Director Generalnya. Tahun 1934 telah diangkat A. van der Velde di Bogor dan J. W. de Wilt di Jakarta masing-masing sebagai Asistant Director yang membantu Yosias van Dienst. 

Setahun sebelum berdirinya International Buddhis Mission Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika Dhamia yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay. Majalah Mustika Dharma mernuat tentang pelajaran Theosofi, tentang agama Islam, tentang sari pelajaran dan Yesus, ajaran Krisnamurti, terutama mengenai ajaran agama Buddha (Buddha Dhamia), Khonghucu dan Lautse. Majalah Mustika Dharma besar jasanya dalam menyebar luaskan kembali agama Buddha, sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelapori kebangkitan agama Buddha disamping Perhimpunan Theosofi Indonesia, dan Pemuda Theosofi Indonesia, setelah Indonesia Merdeka. 

Naiada Thera

Tanggal 4 Maret 1934 Narada Thera menginjakkan kakinya di pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa Hin Hoay dan beberapa umat Buddha. Narada Thera adalah bikhhu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang kira-kira lima ratus tahun. Narada Thera telah memberikan ceramah agama Buddha di loji-loji Theosofi dan di Klenteng-klenteng di Bogor, Jakarta, Yogya, Solo dan Bandung. Di Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934 Narada Thera turut hadir dalam upacara penanaman pohon bodhi yang cangkokannya dibawa oleh lr. Meertenas dari Buddhagaya, India. Pohon bodhi yang telah tumbuh besar di Candi Borobudur itu kemudian dimatikan, karena merusak bangunan candi. Duta Besar Srilangka menyerahkan lagi cangkokan pohon. Pohon bodhi tersebut ditanam di kawasan luar Candi Borobudur disaksikan oleh Gubernur Supardjo Rustam. Pohon bodhi dari Duta Besar Srilangka itu adalah cangkokan dari pohon bodhi yang sampai sekarang masih tumbuh di Anuradhapura di Srilangka yang dahulu dibawa oleh Raja Mahinda ke Srilangka.

Java Buddhist Association yang telah menerbitkan majalah Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda telah banyak menarik perhatian dan minat orang-orang Cina, yang pada waktu itu telah banyak menganut agama lain, dan telah mengganti tradisi serta adat istiadat leluhurnya dengan kebiasaan Barat. Kemudian tahun 1932 Kwee Tek Hoay membentuk Sam Kauw Hwee yang anggotanya terdiri dari penganut agama Buddha, Khonghucu dan Laocu. Sam Kauw Hwee menerbitkan majalah Sam Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Sam Kauw Hwee kehilangan Ketuanya dengan meninggalnya Kwee Tek Hoay tahun 1952. Sam Kauw Hwee lalu diorganisir kembali dengan masuknya beberapa organisasi kedalamnya, antara lain Tian Lie Hwee dibawah pimpinan Ong Tiang Biauw yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta. Sam Kauw Hwee kemudian menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) dengan Ketuanya yang pertama adalah The Boan An, yang sekarang dikenal sebagai Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dalarn tahun 1962 dibawah pimpinan Drs. Khoe Soe Khiam, GSKI dirubah namanya menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia dengan majalahnya bemama Tri Budaya.

Perkembangan Agama Buddha Sejak Kemerdekaan R.I.

Perhimpunan Theosofi y.ang bertujuan untuk membina persaudaraan universal melalui penghayatan pengetahuan tentang semua agama termasuk agama Buddha, telah menarik perhatian dan minat orang-orang Indonesia terpelajar. Dari mempelajari agama Buddha kemudian timbullah dorongan untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama Buddha. Dari sinilah bermulanya orang-orang Indonesia terpelajar mengenal agama Buddha sampai akhirnya menjadi penganut Buddha Dharma. Orang-orang Indonesia terpelajar yang kemudian menjadi umat Buddha melalui Theosofi antara lain M.S. Mangunkawatja, Ida Bagus Jelanti, The Boan An, Drs. Khoe Soe Khiam, Sadono, R.A. Parwati, Ananda Suyono, I Ketut Tangkas, Slamet Pudjono, Satyadharma, lbu Jamhir, Ny. Tjoa Hm Hoey, Oka Diputhera dan lain-lainnya. Meskipun theosofi tidak bertujuan untuk membangkitkan kembali agama Buddha narnun dari theosofi ini lahir penganut agama Buddha yang kemudian setelah Indonesia merdeka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia. Karena itu baik Perhimpunan Theosofi Indonesia maupun Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia secara tidak langsung mempunyai andil yang besar dalam kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

The Boan An yang menjadi pimpinan GSKI dan Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia, kemudian ditahbiskan menjadi Bhikkhu di Burma dengan nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sejak 2500 tahun Buddha Jayanti, tepatnya tahun 1956 saat kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Indonesia, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita-lah yang memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke seluruh lndonesia. Karena itu Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Dari bhikkhu Ashin Jinarakkhita lahir tokoh-tokoh umat Buddha di Indonesia seperti Sariputra Sadono, K. Karbono, Soemantri MS, Suraji Ariakertawijaya, Oka Diputhera, I Ketut Tangkas, Ida Bagus Gin dan pimpinan Buddha lainnya yang sampai sekarang masih aktif dalam organisasi Buddhis dan ada pula di antaranya telah menjadi Bhikkhu scperti Ida Bagus Gin vane sekarang dikenal dengan nama Bhikkhu Girirakkhito.

Jadi dari Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Perhimpunan Theosofi Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia lahir penganut-penganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mempelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam tahun kebangkitannya yakni tahun 1956. Nama-nama yang mendampingi Bhikkhu Ashin Jmarakkhita dalam mempelopori kebangkitan kembali agama Buddha dalam era 2500 tahun Buddha Jayanti tahun 1956 antara lain M.S. Mangunkawatja, Sariputra Sadono, Sasanasobhana, Sosro Utomo, I Ketut Tangkas, Ananda Suyono, R.A. Parwati, Satyadharma, lbu Jayadevi Djamhir, Pannasiri Go Eng Djan, Ida Bagus Giri, Drs. Khoe Soe Khiam, Ny. Tjoa Hin Hoey, Harsa Swabodhi, Krishnaputra, Oka Diputhera dan sebagainya.

Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission Bagian Jawa dibawah pimpinan Yosias van Dienst, yang banyak mendapat bantuan dari Perhimpunan Theosofi dan Gabungan Sam Kauw.

Organisasi Buddhis yang mempelopori kebangkitan danperkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh Sariputra Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS, Oka Diputhera (Sek. Jen) sampai kemudian berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Yang membentuk PUUI adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam tahun 1954, sebagai pembantunya dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia.

Kemudian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya Perhimpunan Buddhis Indonesia tahun 1958 dengan Ketua Urnunanya Sariputra Sodono dan Sek. Jen. Sasana Sobhana. Kemudian Ketua Umum PERBUDHI adalah Soemantri MS dengan Sek. Jen. Oka Diputhera. Perbudhi kemudian dilebur menjadi Budhi bersama-sama dengan organisasi Buddhis lainnya.

Dalam tahun 1958 berdiri Sangha Suci Indonesia yang kemudian ganti nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia kemudian pecah melahirkan Sangha Indonesia. Dengan demikian di Indonesia terdapat dua Sangha yakiri Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. 
Maha Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Girirakkhito.

Tahun 1974 atas prakarsa Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan perternuan antara Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Hasil dan perternuan tersebut melahirkan Sangha Agung Indonesia yakni gabungan dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Sebagai Maha Nyaka Sangha Agung Indonesia terpilih Sthavira. Ashin Jinarakkhita.

Kemudian setelah Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta, di Indonesia terdapat tiga kelompok Sangha, yakni Sangha Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana Indonesia yang sernuanya tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).

Sangha Mahayana Indonesia dibentuk tahun 1978. Dewasa ini pengurusnya terdiri atas Bhiksu Dharmasagaro (Ketua Urnum), Bhiksu Dharmabatama (Ketua 1), Bhiksu Sakyasakti (Ketua II), Bhiksu Dutavira (Sekretaris Urnum), Bhiksu Dhyanavira (Sekretaris 1) dan Bhiksu Andhanavira (Sekretaris II). Sangha Mahayana Indonesia inilah yang, mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menterjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia. 

Mengingat upacara-upacara ritual agama Buddha dewasa ini urnumnya masih menggunakan aksara Mandarin, maka sejak 1982 Bhiksu Dutavira dengan tidak mengenal lelah dan dengan kemampuan terbatas yang dimikinya berusaha mengembalikan bentuk-bentuk upacara dalam aksara Sansekerta serta bahasa Indonesia. Hal ini telah diterapkan di II propinsi di Indonesia dengan memperoleh sambutan antusias sekali, khususnya dari para umat Buddha Mahayana. Apa yang dilakukan oleh Bhiksu Dutavira selama 4 tahun itu boleh dikatakan semacam merintis proyek pilot Pusdiklat Mahayana.

Kini dirasa semakin mendesak untuk meningkatkan proyek pilot tadi dalam bentuk pusdikiat modern yang serba lengkap dan yang didukung pula oleh para akhli agama Buddha baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Rencana ini telah memperoleh izin prinsip dari Departemen Agama R.I. cq. Ditjen Bimas Hindhu—Buddha.

Quoted from wihara.com