Penjelasan Catur Sarana

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Pengertian Sarana adalah mencari perlindungan atau bersandar atau memperoleh penyelamatan.
Penyelamatan disini melingkupi tumimbal lahir di alam brahma / dewa, asura, manusia, binatang, hantu kelaparan dan neraka, agar terbebas dari roda samsara dan kilesa.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian Esoteris di perkenalan Buddha Tantrayana – esoteris depan, “Dalam esoteris, sebuah kegiatan sadhana merupakan hal yang amat sakral dan penting sehubungan dengan adanya kemungkinan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an secara sekejab, dan hal pencapaian ini sangat berhubungan erat dengan keberadaan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli dan yang diyakini mampu untuk memberikan pertolongan dan bimbingan ajaran secara jelas kepada seorang sadhaka pemula melalui sebuah ritual pemberkatan khusus pada tahap awal memulai pelajaran esoteris (biasa disebut : inisiasi / abhiseka / anuttement / visudhi abhisecani).
Pentingnya sebuah ritual pemberkatan khusus ini didasarkan pada kepercayaan tentang adanya perbedaan tingkatan pencapaian spiritual yang dimiliki oleh seorang guru dengan seorang calon murid, yang pada umumnya tingkat spiritual seorang guru adalah dianggap “lebih menguasai dan suci” jika dibandingkan dengan tingkat spiritual seorang murid. Sehingga atas dasar inilah seorang guru dalam tradisi Tantrayana memiliki tanggung jawab maksimal untuk menyelamatkan dan menanggung seluruh karma-karma buruk yang dimiliki oleh murid tersebut.
Dikarenakan seorang guru memiliki tanggung jawab berat seperti diatas, maka perlindungan utama di dalam aliran esoteris didasarkan pada 4 (empat) mustika yaitu : berlindung kepada Guru – berlindung kepada Buddha – berlindung kepada Dharma – berlindung kepada Sangha, biasa disebut sebagai Catur Sarana.” maka di dalam aliran esoteris ini memiliki Catur Sarana yang diucapkan :
Namo Guru Bei atau Namo Ku Lu Pei 
Namo Buddhaya atau Namo Pu Ta Ye 
Namo Dhammaya atau Namo Ta Mo Ye 
Namo Sanghaya atau Namo Seng Kia Ye 

Ada orang yang berpendapat, apabila kita dapat menjaga pikiran dengan baik atau memiliki keyakinan kepada Buddha dengan menyebut nama-Nya dan bernamaskara dihadapan-Nya maka tidak perlu bersarana (berlindung) lagi. Sebenarnya yang terjadi adalah, hal tersebut hanya merupakan latihan bagian luar dari pengertian tentang Buddhisme, seandainya ingin benar-benar memahami ajaran Buddha Dharma maka harus melakukan latihan bagian dalam dengan melakukan Sarana diatas.
Terlebih-lebih lagi, aliran esoteris sangat menjunjung tinggi adanya sebuah silsilah antara seorang Guru dengan seorang murid, yang mencerminkan kemampuan bimbingan dari Guru tersebut yang telah memiliki pengalaman spiritual dengan kondisi alam semesta.

Sebenarnya, makna dari Sarana adalah “keyakinan”. Dengan adanya keyakinan seseorang baru dapat melakukan Sarana, setelah itu melaksanakan pelatihan diri menurut metode keyakinannya masing-masing dalam hal ini esoteris, sehingga baru dapat memperoleh makna Sarana yang sesungguhnya.

Semua metode Dharma bertujuan mengembangkan Upaya Kausalya (metode yang mudah dilaksanakan agar mampu menuntun para insan untuk memulai perjalanan pelatihan spiritual bagi dirinya sendiri, hal ini terkait dengan adanya 84.000 kemungkinan upaya Dharma). Perlindungan yang paling utama adalah “berlindung pada Diri Sendiri”, ini adalah metode yang dilaksanakan oleh para sadhaka / tantrika, dan setelah mampu menghancurkan avidya (kebodohan), maka akan kembali pada sifat sebenarnya dari inti sari batin dan mampu merealisasikan secara benar Tubuh Dharmakaya yang murni

Penjelasan Abhiseka

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Penjelasan Abhiseka (pemberkatan khusus / inisiasi / anuttement / visudhi abhisecani) : 

Pada umumnya, Abhiseka di dalam aliran esoteris terbagi menjadi empat kategori, yaitu :

1. Abhiseka yang merupakan perkenalan awal dengan ajaran Buddha Tantrayana 
2. Abhiseka tentang pelajaran Dharma 
3. Abhiseka tentang pengenalan ajaran Buddha Tantrayana yang mendalam, ini berarti seseorang telah mengenal baik metode esoteris dan telah berkontak batin dengan Yidam-Nya 
4. Abhiseka Vajra Acarya, yaitu seseorang yang telah dianggap mampu menyampaikan dan mentransformasikan pelajaran Buddha Dharma kepada khalayak umum 
Perbedaan antara metode esoteris dan non-esoteris bukan dalam hal Abhiseka saja, tetapi juga dalam hal keberhasilan dari setiap tahap latihan. Setiap sadhaka / tantrika yang melakukan latihan esoteris harus memahami hal-hal tersebut secara mendalam.

Pengertian Abhiseka adalah sesuai dengan cara dan penggunaannya pada dahulu kala. Saat itu di India, setiap ada penobatan raja maka seorang pendeta agung kerajaan akan menggunakan air laut dari empat penjuru untuk menyirami kepala raja dari atas hingga ke bawah sebagai pernyataan rasa suka cita dan pujian dari empat penjuru lautan, yang kelak akan mengarah / menuju ke-empat lautan lagi.

Di dalam aliran esoteris, Abhiseka memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi, karena setelah menerima Abhiseka, berarti para Buddha, Bodhisattva telah berkenan mentransformasikan sesuatu kekuatan yang mempertajam kesadaran sejati seseorang umat awam sebagai siswa-Nya (dipercaya, pada saat transformasi kekuatan dilakukan, maka pada saat itu juga, umat awam tersebut akan langsung dilindungi oleh 16 mahkluk suci yang akan langsung mengelilingi dan menjaga umat awam tersebut. Adapun para mahkluk-mahkluk suci tersebut antara lain : Empat Maha Raja Langit (Virudhaka, Virupaksa, Vaisravana & Dhrtarastra), Ganapati, Deva Saha, Vajrapanibalin, Vajra Yaksa, Guhyapada, Dewa Naga dan sebagainya).

Untuk dapat melakukan sebuah Abhiseka, khususnya Abhiseka bersarana jarak jauh, hanya seorang Guru Spiritual Sejati yang telah mencapai tingkat kemahiran tertentu dalam bhavananya saja yang mampu melakukan hal-hal tersebut, karena Guru tersebut harus sudah menguasai teknik langkah-langkah gaib dan kemampuan mengasimilasi indra-indra dan sinar dari seluruh Yidam Buddha secara nyata. Kemampuan langkah-langkah gaib diperlukan agar Guru tersebut dapat mendatangi umat yang ber-Sarana dimanapun umat tersebut berada, dan kemampuan mengasimilasi indra-indra dan sinar dipergunakan untuk penguatan seluruh indra-indra umat yang ber-Sarana serta pengubahan sinar kolektif dari para Buddha dan Bodhisattva untuk memancarkan cahaya-Nya secara terfokus kepada umat yang ber-Sarana.
Bantuan visualisasi secara internal di pihak umat yang ber-Sarana mengenai arti dari warna sinar yang berbeda-beda saat Abhiseka dilakukan, antara lain:

1. Sinar Putih, untuk menghilangkan karma-karma buruk. 
2. Sinar Merah, untuk cinta kasih. 
3. Sinar Kuning, untuk pengumpulan kesejahteraan duniawi. 
4. Sinar Biru, untuk kekuatan atau penundukkan Mara. 

Ingat, semua latihan dalam esoteris harus mendapatkan Abhiseka terlebih dahulu agar proses akhir dari latihan tersebut membuahkan hasil yang diharapkan.

Quoted from wihara.com

Tahapan Pelatihan Diri Tantrika Satya Buddha

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Beberapa waktu yang lalu ada seorang siswa setelah mendapatkan abhiseka Sadhana Wadyaraja Acalanatha, mulai berlatih sadhana tersebut. Tidak lama kemudian Acalanatha muncul dalam mimpinya. Saat muncul, Acalanatha tidak memberkatipun tidak memberikan sesuatu kepadanya, juga tidak memancarkan cahaya. Sebaliknya hanya melirik kepadanya kemudian membelakanginya. Apapun yang dimintanya tidak disahuti bahkan memunggunginya. Ia datang bertanya: “Apa arti dari kesemua kejadian ini?”     

Jawaban saya demikian : pelatihan diri dalam Tantrayana memiliki tahap-tahapan. Anda harus menapakinya setingkat demi setingkat, tidak boleh loncat kelas. Oleh karena itu bila Anda telah mendapatkan abhiseka Sadhana Amitabha, sudah berlatih Dewatayoga Amitabha(Pen Cuen Fa), sudah berlatih lama sekali namun belum juga mencapai kontak (yoga). Seyogyanya Anda mulai berpikir, mengapa Budha Amitabha tidak muncul dalam mimpi atau samadhi memberkati Anda? Atau mengapa Budha Amitabha tidak memancarkan cahaya terang, mengapa tidak muncul pertanda baik? Apakah Anda telah loncat kelas? Bila Sadhana Guruyoga belum memperoleh kontak, kemudian Anda langsung berlatih Dewatayoga Amitabha ini berarti sudah loncat kelas. Dengan demikian Anda tak akan mendapatkan kontak dari Budha Amitabha. Ini disebut “meskipun sudah memperoleh abhiseka namun belum memperoleh nimitta abhiseka (nimitta disini bisa diartikan sebagai pertanda). 

Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, bila Anda beranggapan telah mencapai yoga dalam Sadhana Guruyoga, berlatihlah Dewatayoga. Namun Anda harus mengulangi proses abhiseka Dewatayoga. Karena ada kemungkinan dalam proses bersadhana atau dalam proses abhiseka terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan tatacara. Oleh sebab itu dalam pelatihan diri Tantra umumnya, misalnya Catur Prayoga, ada ditentukan mumlahnya. Dengan kata lain Anda harus menggenapi setia sadhana dalam Catur Prayoga sebanyak 250000 kali barulah sesuai dengan tatacara (aturan). Bila ingin menjadi Acharya, harus melakukan homa sebanyak 200 kali barulah pantas menjadi Acharya, ini adalah ketentuan Tantra Timur. Oleh karena itu boleh dikatakan semua ada tahapannya. Abhiseka tidak ada manfaatnya bila tidak memperoleh nimitta abhiseka. Yang dimaksud dengan nimitta abhiseka adalah, misalnya ada orang begitu diabhiseka langsung memperoleh nimitta abhiseka, berarti Anda hari ini di-Abhiseka, pada malam harinya, Budha Amitabha langsung menampakkan jasmaninya yang sempurna di hadapan Anda menyinari Anda, memberkati Anda. Ini berarti Anda telah memperoleh nimitta abhiseka, berarti Anda telah memenuhi syarat untuk berlatih Dewatayoga Amitabha.

Langkah selanjutnya baru boleh minta diajari Sadhana Widyaraja, kemudian Anuttarayoga Tantra. Semua ini harus tahap demi tahap. Di tempat kita, harus berlatih Catur Prayoga, setelah itu baru Guruyoga. Kalau Guruyoga sudah beres barulah Dewatayoga, kemudian Sadhana Widyaraja, lalu Anuttarayoga Tantra. Pada setiap tahap harus mencapai yoga dan menghasilkan pertanda baik baru boleh menapak ke tingkat yang lebih tinggi. Inilah ketentuan dalam Tantrayana umumnya. 

Jika meskipun sudah di-Abhiseka namun tidak memperoleh nimitta abhiseka sebaiknya ulangi sekali lagi abhisekanya atau turun setingkat dan berlatih lebh lanjut. Misalnya Anda telah diabhiseka dalam Dewatayoga, namun belum juga mencapai yoga dalam waktu lama, lebih baik turun setingkat, diabhiseka lagi dalam Guruyoga atau abhiseka lagi dalam Dewatayoga, kemudian teruskan lagi latihannya dari awal. Bila belum memperoleh nimitta abhiseka dalam Catur Prayoga, tetapi meneruskan ke Guruyoga, tentu saja tidak akan memperoleh nimitta abhiseka dalam Guruyoga. 

Inilah tatacara dalam Tantrayana. Terhadap tatacara demikian, dulu kita tidak perlu mematuhinya. Tetapi untuk siswa yang masuk belakangan, harus melatih diri dalam tatacara ddemikian. Ada orang berkata, melatih diri dalam Tantrayana harus membangun fondasi dalam Mahayana selama 12 tahun, fondasi dalam Tantrayana 8 tahun, seluruhnya 20 tahun barulah boleh mendapatkan abhiseka pengukuhan Acharya. Dewasa ini ada orang yang setelah memperoleh abhiseka Acalanatha langsung berlatih, tak dinyana baru semalam saja Acalanatha sudah muncul melirik sejenak laru memantatinya, hampir menghadiahi sebuah tendangan. Karena sadhaka belum mencapai yoga dalam Dewatayoga, disinilah masalahnya. Namun, jika Anda merasa amat berbakat, setelah diabhiseka dalam Sadhana Widyaraja Acalanatha, pada malam harinya langsung muncul memberkati Anda, berarti Anda telah memperoleh nimitta abhiseka, berarti Anda boleh berlatih. Jika Anda telah diabhiseka, tetapi tidak memperoleh nimitta abhiseka, berarti tidak boleh berlatih dalam sadhana ini. Anda harus tetap menekuni Dewatayoga atau turun setingkat berlatih Guruyoga. Bila dalam Guruyoga pun belum memperoleh kontak, belum muncul pertanda baik atau nimitta abhiseka, sebaiknya Anda tiap hari lakukan saja Mahanamaskara, Mahpuja, menjapa mantra Catur Sarana, melakukan Sadhana Wajrasattwa, berlatih Catur Prayoga. Bila dalam Catur Prayoga sudah benar-benar memperoleh yoga berarti ada harapan untuk mencapai pembebasan, karena Bodhisattva Wajracitta mampu membantu Anda mencapai ke-Budhaan. 

Kelian lebih baik berkutut dulu di latihan dasar, jangan belum apa-apa sudah mau langsung berlatih Anuttarayoga Tantra. Tidak boleh begitu. Karena pelatihan diri adalah suatu proses. Kecuali Anda begitu diabhiseka Sadhana Widyaraja Acalanatha langsung memperoleh nimitta abhiseka, karena pada kelahiran sebelumnya telah melatihnya. Tentu saja tidak ada yang dapat dikatakan. Namun bila dalam kelahiran terdahulu Anda belum berlatih, berarti dalam kelahiran ini Anda harus melatihnya dari dasar. Tidak boleh seperti helikopter, langsung tinggal landas menuju Anuttarayoga Tantra. Oleh karena itu seyogyanya mulai menapak dari tingkat satu, tingkat dua, tingkat tiga, tingkat empat, tingkat lima, menapak secara bertahap barulah sesuai dengan tatacara sesuai dengan Dharma.

dikutip dari Files TBSN

Quoted from wihara.com by Bodhi Cahyana

Buddha Tantrayana

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Agama Buddha Tantrayana sebenarnya merupakan perkembangan lanjutan dari agama Buddha Mahayana yang dianggap cukup memegang peranan penting dalam penyebarannya di wilayah India hingga ke Asia sejak awal tahun 400 Masehi. Aliran agama Buddha Tantrayana ini menekankan pada hal akhir tentang “keselamatan tertinggi / Nibbana” yang dapat dicapai melalui berbagai macam metode meditasi dan visualisasi (segi pikiran), mantera (segi ucapan) serta pembentukan mudra (segi jasmani) hasil observasi dan analisa yang mendalam dari para Guru Akar, dimana hal-hal tersebut harus dilakukan secara harmonis oleh seorang sadhaka dengan cara berusaha memahami sifat jati diri ke-Tuhan-an yang absolut dan pemanfaatan kekuatan alam semesta lewat bimbingan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli. 

Aliran agama Buddha Tantrayana ini juga biasa disebut sebagai aliran esoteris atau aliran rahasia yang mengandung kegaiban, sedangkan aliran agama Buddha lainnya disebut sebagai aliran eksoteris atau aliran yang terbuka dan umum. 
Perbedaan dasarnya adalah, bila aliran esoteris meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an dapat diraih dalam waktu sekejab di kehidupan ini lewat sadhana yang benar, sedangkan aliran eksoteris lebih meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an hanya dapat diraih dengan melewati beberapa kali kehidupan secara bertahap dan terus menerus bertumimbal lahir hingga waktu yang tepat (bisa dalam tujuh kali kehidupan atau lebih, bahkan ada yang sampai bermilyar-milyar kali kehidupan). 

Menurut peraturan beberapa aliran esoteris yang melakukan disiplin keras di Tibet, seorang sadhaka baru diijinkan mempelajari agama Buddha Tantrayana setelah menguasai lebih dari 70 % dasar filsafat dan pengetahuan umum mengenai aliran eksoteris lewat ujian lisan maupun tulisan (masa pembelajaran Tri Pitaka secara umum sekitar 10 s/d 15 tahun), hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi kesalah-pahaman penerapan ajaran agama Buddha yang membutuhkan daya pemahaman universal yang cukup rumit. Sedangkan kini, di luar Tibet, peraturan-peraturan tersebut sudah lebih disesuaikan dengan kultur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas dari para penganutnya. 

Penggunaan kata “Tantra” sendiri memiliki arti merajut atau menenun, ini merupakan sebuah istilah yang mengarah pada gabungan kondisi pikiran, ucapan, tindakan yang bersifat rahasia dan memiliki tujuan untuk berusaha memahami sifat sejati “seseorang” yang sebenarnya adalah seorang Buddha, hanya saja “seseorang” tersebut masih seorang insan calon Buddha yang belum menyadari kebijaksanaan ke-Buddha-an dalam dirinya sendiri saat ini. 
Untuk itulah aliran esoteris sangat menekankan pentingnya latihan sadhana yang benar, dimulai dari : 
1.) Tingkat awal / eksternal = berlatih Catur Prayoga —> Guru Yoga —> Yidam Yoga & Dharmapala 
2.) Tingkat lanjutan / internal = melatih prana, nadi dan bindu —> Vajra Dharma Yoga 
3.) Tingkat esoterik = Anuttara Yoga Tantra 
4.) Tingkat maha esoterik = Maha Dzogchen 

Dalam esoteris, sebuah kegiatan sadhana merupakan hal yang amat sakral dan penting sehubungan dengan adanya kemungkinan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an secara sekejab, dan hal pencapaian ini sangat berhubungan erat dengan keberadaan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli dan yang diyakini mampu untuk memberikan pertolongan dan bimbingan ajaran secara jelas kepada seorang sadhaka pemula melalui sebuah ritual pemberkatan khusus pada tahap awal memulai pelajaran esoteris (biasa disebut : inisiasi / abhiseka / anuttement / visudhi abhisecani). 
Pentingnya sebuah ritual pemberkatan khusus ini didasarkan pada kepercayaan tentang adanya perbedaan tingkatan pencapaian spiritual yang dimiliki oleh seorang guru dengan seorang calon murid, yang pada umumnya tingkat spiritual seorang guru adalah dianggap “lebih menguasai dan suci” jika dibandingkan dengan tingkat spiritual seorang murid. Sehingga atas dasar inilah seorang guru dalam tradisi Tantrayana memiliki tanggung jawab maksimal untuk menyelamatkan dan menanggung seluruh karma-karma buruk yang dimiliki oleh murid tersebut. 
Dikarenakan seorang guru memiliki tanggung jawab berat seperti diatas, maka perlindungan utama di dalam aliran esoteris didasarkan pada 4 (empat) mustika yaitu : berlindung kepada Guru – berlindung kepada Buddha – berlindung kepada Dharma – berlindung kepada Sangha, biasa disebut sebagai Catur Sarana. 

Pada masa lalu, penganut esoteris mayoritas berada di daerah Tibet, Nepal, China dan sebagian wilayah India bagian Selatan dan Barat Laut, kini seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang canggih, proses penyebaran agama Buddha Tantrayana menjadi semakin pesat mencapai hampir seluruh wilayah seperti Seattle – Chicago – San Francisco – California – Los Angeles – New York – Alaska – Kanada – Brasil – Australia – Inggris – Afrika – Perancis – Spanyol – Thailand – Vietnam – Jepang – Singapura – Hong Kong – China – Malaysia – Indonesia dan sebagainya.

Quoted from wihara.com

Cara Penjapaan Sutra dan Mantra

Posted by bodhi in Uncategorized on November 19th, 2008 |  No Comments »

Cara-cara menjapa Sutra atau Mantera dan penggunaan Biji Tasbeh (Japamala) : 

Ada banyak cara menjapa sutra atau mantera, sewaktu suara terdengar, cara ini disebut “menjapa dengan bersuara”.
Cara lain disebut sebagai “penjapaan vajra” yaitu menjapa dengan mulut tertutup namun lidah masih boleh bergerak.
Cara yang lebih halus lagi disebut sebagai “penjapaan samadhi” yaitu menjapa dengan mulut tertutup dan lidah tidak bergerak, suara hanya terdengar di dalam hati sewaktu menjapa, tidak masalah mata dalam keadaan tertutup atau terbuka saat menjapa.
Cara yang paling mendalam disebut sebagai “penjapaan sejati”, dimana kita harus memvisualisasikan huruf-huruf sutra atau mantera dengan warna dasarnya masing-masing muncul di angkasa dan kita harus mengartikannya satu per satu sehingga kita dapat membentuk huruf-huruf tersebut menjadi sebuah roda Dharma dan memutarnya.

Ada tiga alat yang mutlak digunakan oleh aliran esoteris dalam melakukan sadhana, yaitu : tasbeh 108 butir, alat vajra dan ganta.

Cara penggunaan tasbeh : sebaiknya sambil memegang tasbeh, kita harus memvisualisasikan tangan kanan memegang alat vajra, tangan kiri memegang ganta, dan ke – 108 butir tasbeh memancarkan sinar putih Vajrasattva. Lalu keempat biji tasbeh pemisah terbang ke angkasa dan menjelma menjadi Catur Maha Rajakayika (Empat Maha Raja Langit) yang melindungi kita. Lalu biji kepala tasbeh berubah menjadi tangan Buddha. Setelah itu, kita bisa memulai membaca sutra atau mantera, dimana setiap butir tasbeh yang dijapa berubah wujudnya menjadi Yidam Buddha yang sedang kita sadhanakan memberi sinar Abhiseka pada penjapa.

Sutra-sutra dan mantera yang dijunjung tinggi oleh Satya Buddha, antara lain Vaiduryaraja Avalokitesvara Sutra — Maha Karuna Dharani Sutra — Sukhavati Vyuha Dharani Sutra — Prajna Paramita Hrdaya Sutra dan Satya Buddhagama Sutra.

Quoted from wihara.com